Wednesday, January 11

pengen baca? tapi jangan bilang siapa-siapa yah?!

Surat Cinta untuk JAWA POS
Oleh: Candra Malik, bekas wartawan JP-IP
Saya Candra Malik.
Saya menulis ini karena mencintai Jawa Pos (JP).Kendati saya telah menyatakan berhenti bekerja sebagai wartawan Indo.Pos (IP) – bagian dari Jawa Pos News Networking (JPNN) – per 1 Agustus 2005 setelah bekerja putus-sambung di JP dan JPNN selama kurang lebih lima tahun, saya masih membaca JP setiap hari hingga tulisan ini saya buat. Karena itulah, saya mengetahui "hasil liputan" teman-teman saya – para bekas teman sejawat saya yang masih bertahan hidup dengan "menulis" berita di JP – terutama berita- berita di halaman muka dan belakang.
Para pembaca yang budiman mungkin terkejut ketika membaca berita Kasihan, Warga Tak Berdosa Jadi Korban (JP edisi Senin 3 Oktober 2005; wawancara dengan Wan Noraini, istri Dr Azhari Husin) dan Istri Doakan Azhari Mati Syahid (JP edisi Kamis 10 November 2005; wawancara dengan Noraini). Maklum, narasumber merupakan istri orang paling dicari di bumi Indonesia sehingga keberhasilan mewawancarai Noraini adalah prestasi luar biasa. Dan, sewajarnya jika JP kemudian memasang label "eksklusif" dengan huruf kapital.
Namun, saya bukan termasuk orang yang terkesima. Sedikitnya ada dua alasan mengapa saya bersikap demikian. Pertama, JP yang saya kenal memang sangat menyukai penggunaan label "eksklusif" sehingga tim redaktur maupun wartawannya sendiri dengan berbagai pendekatan akan melakukan "usaha yang sangat keras" untuk bisa menempelkan label itu; tentunya pada berita-berita kelas satu.
Kedua, kami – sebagian wartawan JP, termasuk saya yang bekas wartawan JP – punya kebiasaan melihat dulu inisial wartawan penyaji laporan sebelum menuntaskan membaca suatu berita di koran kami. Jika ternyata inisial di akhir berita itu adalah milik wartawan tertentu yang sudah kami ketahui memiliki kredibilitas yang sangat rendah, sebagian dari kami – termasuk saya – memutuskan untuk tidak melanjutkan membaca berita tersebut. Sebab, percuma saja membaca berita yang tidak valid, tidak akurat, hiperbola, bahkan layak dicurigai sebagai berita imajinatif, bohong, dan fiktif.
Pendek kata, kami "tahu sama tahu" mengenai track record masing-masing di lapangan. Karena itulah, sudah menjadi makanan kami sehari-hari, kami suka membicarakan kriminalisasi jurnalistikini. Baik secara diam-diam – dalam konotasi sesungguhnya yaitumembicarakannya dengan suara pelan, di kantong-kantong ruang redaksiyang terhalang pandangannya bagi bos, dan di waktu-waktu yang sepiperhatian – maupun secara terang-terangan untuk menarik perhatianbos dan kalangan lingkaran dalam bos – meski selama ini nyaristidak pernah diindahkan.
Kasus penodaan karya jurnalistik ini bukan yang pertama di JP. Saya tidak memiliki kapasitas untuk menyinggung kasus-kasus yang saya tidak ketahui dengan mata kepala sendiri. Apalagi kasus-kasus yang terjadi jauh sebelum saya mulai bekerja di JP pada kurun awal 2000. Misalnya, kontroversi berita Paris Dakar dan runtuhnya kediktatoran Marcos di Filipina yang kabarnya diduga dilakukan oleh seorang wartawati JP yang kini sudah "duduk tenang di atas".
Tapi, saya tidak bisa menutup mata melihat kasus-kasus berikutnya terus terjadi, dibiarkan terjadi, dan bahkan dipaksakan terjadi hingga akhirnya melemahkan sistem, menumbuhkan model jurnalisme "asal bos senang", menciptakan budaya like and dislike di dapur redaksi, dan membenarkan penghalalan segala cara dalam penyusunan berita, yang pada gilirannya nanti saya khawatirkan akan membuat JP yang saya cintai makin keropos dan finally roboh.
Saya bisa mulai membahas ini dari pengalaman saya pribadi dalam penugasan sebagai wartawan Indo.Pos (IP) yang juga merupakan bagian dari JPNN (Jawa Pos News Networking) yang bos-bosnya juga orang-orang JP dengan kultur yang tidak berbeda dengan JP.
Saya berhenti dari IP dengan jabatan terakhir koordinator liputandan tugas terakhir sebagai redaktur halaman khusus Antikorupsi.
Pada suatu Jumat malam di bulan Mei 2005 (semoga akurasi bulannya tidak keliru), saya dipanggil pemimpin redaksi IP. Ketika itu, hari sudah cukup larut, sudah di atas pukul 23.00. Saya ditugaskan untuk membuat halaman Antikorupsi mulai Senin depan. Itu artinya, saya hanya memiliki waktu dua hari untuk mempersiapkan halaman tersebut. Dua hari. Dan yang perlu dicatat, kedua hari itu adalah hari-hari tidak efektif yaitu Sabtu dan Minggu.
Saya sudah mengatakan, mana ada kantor lembaga negara dan pemerintahan yang buka pada hari-hari itu. Kantor Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga nyaris pasti sepi. Kalau pun ada orang, mereka tidak akan bisa membuka arsip dan menyediakan data tentang kasus-kasus korupsi yang kita minta pada hari-hari yang bukan hari kerja seperti itu.
Tapi, pemimpin redaksi IP tidak mau tahu. Dan saya "dipaksa" agar memaklumi hal itu karena bos besar JP-IP juga tidak mau tahu soal apologi itu. Apalagi, halaman ini gagal digarap teman-teman JP yang sebelumnya hanya diwajibkan membuatnya sekali sepekan sehingga dialihkan kepada IP dengan harapan kali ini berhasil.

Bos JP tidak mau mendengar alasan kegagalan lagi karena halamanAntikorupsi merupakan implementasi dari kerja sama JP denganKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Memang seperti itulah JP yang saya kenal. Sejak bergabung dengan JP di Surabaya, sejumlah redaktur memang telah mencekoki para wartawan baru – termasuk saya waktu itu – dengan doktrin No Excuse! alias tidak ada alasan. Sehingga saya tumbuh sebagai wartawan dengan pikiran bahwa sebuah instruksi harus dijalankan dengan sukses jika saya tidak mau disudutkan hingga akhirnya terpojok dan terbuang. Dan seperti sudah menjadi tradisi, banyak wartawan baru di JP Surabaya khususnya yang bertumbangan. Mereka tidak kuat menjalankan tugas jurnalistik karena kerasnya tuntutan kerja yang perfeksionistis. Karena itulah, rekrutmen wartawan baru seringkali dibuka. Bahkan, bukan hanya wartawan baru yang kehabisan energi. Wartawan lama pun tak sanggup bertahan lagi.
Puncaknya, puluhan wartawan JP-IP keluar. Mereka bedol desa ke koranbaru, Seputar Indonesia (Sindo). Sebagian yang masih bekerja diJP-IP kabarnya terus mencari "pandangan lain". Dalam kasus halaman Antikorupsi, saya akhirnya hanya bisa mengiyakan. Perintah bos, halaman ini satu halaman penuh, tidak boleh dipotong oleh iklan, berwarna, diletakkan di kapel depan, dan setiap hari. Bayangkan, setiap hari! Setiap hari saya diwajibkan mengisi halaman Antikorupsi dengan berita-berita tindak pidana korupsi beserta penanganan hukumnya.
Jangankan saya, para praktisi hukum legal formal saja pasti tidak sanggup menulis artikel tentang korupsi sepanjang satu halaman koran tujuh kolom setiap hari. Apalagi, halaman Antikorupsi tidak mungkin dimasuki kalimat-kalimat yang indah layaknya berita feutures – apalagi opini. Sebab, berita harus menyajikan data dan fakta. Harus akurat, valid, dan up to date. Harus konfirmatif. Harus imbang. Cover both side. Harus menghormati asas praduga tak bersalah alias tidak asal tuduh. Itu semua harus dipenuhi jika tidak ingin dilumat oleh somasi hukum.
Malam itu, saya tidak bisa tidur. Dalam benak saya terlintas kegamangan. Betapa pontang-pantingnya saya akan mencari data dan fakta. Betapa susahnya saya akan menghubungi para narasumber. Dan, semua pasti mahfum bahwa orang-orang yang terjerat kasus hukum – apalagi tindak pidana korupsi – tidak akan sukarela menemui atau sekadar mengangkat telepon genggam demi meladeni pertanyaan pers. Mereka akan cenderung menutup diri, ngumpet, atau bahkan kabur. Kalau pun merasa perlu bicara, mereka memakai jasa juru bicara atau pengacara. Kalau pun ada konferensi pers dengan oknum tersebut, itu pun pasti tidak terjadi setiap hari!
Tapi, saya sedikit lega karena malam itu bukan hanya saya yang pusing. Seorang senior saya yang mengepalai semacam kompartemen grafis di JP juga mengaku pening memikirkan perintah bos yang satu ini. Dia bilang kepada saya," Oke, anggap saja Anda dan tim Anda bisa menyajikan berita-berita korupsi setiap hari. Tapi, apakah halaman ini akan diisi tulisan melulu? Darimana fotografer bisa mendapat foto-foto penunjang? Halaman ini mau diisi gambar apa? Apa diisi ilustrasi dan karikatur seperti komik?". Saya hanya tersenyum kecut.
Alhamdulillah, halaman Antikorupsi bisa terbit pada Senin yang ditentukan dan bertahan kurang lebih tiga bulan di bawah komando saya. Meski bisa dibilang, saya mengomandoi diri saya sendiri. Sebab, waktu itu saya hanya diberi dua wartawan baru yang menulis berita ringan saja belum presklar. Selebihnya, setelah saya berhenti dari IP, saya tidak bisa mengomentari halaman Antikorupsi yang kini sudah tidak di kapel depan, tidak satu halaman penuh, boleh dipotong iklan, divariasi dengan rubrik interaktif pesan pendek (sms) pembaca, dsb.
Mungkin pembaca yang budiman akan bertanya, bukankah perusahaan penerbitan pers sekelas JP-IP selayaknya memiliki sebuah lembaga litbang? Memang, itulah yang selayaknya. Tapi, faktanya, JP Jakarta hanya memiliki dua-tiga staf litbang yang tidak lebih dari sekadar juru ketik dan tukang kliping. Mereka tidak benar-benar menjalankan fungsi penelitian dan pengembangan. Mereka (layak diduga) hanya asal comot data, fakta, dan berita dari media massa dan sumber lain. Dan, sejauh yang saya ketahui, IP masih mengandalkan litbang JP Jakarta.
Karena itulah, wajar saja jika muncul wartawan-wartawan kompilator – setidaknya itulah yang saya ketahui selama saya bekerja di JP dan IP. Para wartawan kompilator ini (layak diduga) sangat jago mengompilasi data, fakta, dan berita dari media massa dan sumber lain; baik itu cetak, elektronik, maupun internet, tanpa menyebutkan sumbernya. Sehingga muncul anekdot: Koran akan tetap terbit bisa selama si kompilator tidak libur.
Apalagi, ini era internet yang tinggal klik saja untuk bisa mengetahui berbagai hal. Jangan tanyakan lagi tentang akurasi dan validitas karena para wartawan itu dikejar deadline, ditekan bosnya, dan dilarang keras kecolongan berita. Andai saya dulu bertugas di desk hiburan JP-IP, saya mungkin juga akan "memantau" infotainment agar bisa menulis berita dengan "benar".
Ah, sudahlah, saya sudah ngobrol terlalu banyak. Maaf...
Candra Malik
Bekas wartawan JP-IP, kini penulis lepas. Tinggal di Depok.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home